Cultuurstelsel (Tanam Paksa)
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Belanda menguasai seluruh pulau nusantara kurang lebih tiga setengah abad. Di pulau Jawa, Belanda menguasai kurang lebih 200 tahun dan di luar pulau Jawa lebih dari 150 tahun lamanya. Di tahun 1830, secara mutlak Belanda menguasai seluruh pulau Jawa.Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Sejarah Tanam Paksa
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel memang tidak terlalu memembebani rakyat, namun dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel terbukti sangat merugikan petani terutama di Jawa yang mengakibatkan kesengsaraan ,kemiskinan dan kematian bagi rakyat di tanah koloni .Usaha penguasaan tersebut melibatkan banyak biaya, terutama untuk biaya perang dan biaya administrasi, sehingga pada kenyataannya, Belanda sama sekali tidak mendapatkan keuntungan.
Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Belanda adalah dari perkebunan kopi di Priangan, Jawa Barat. Namun tetap saja keuntungan tersebut tidak dapat menutupi anggaran yang banyak dikeluarkan oleh Belanda untuk menguasai seluruh wilayah di Indonesia.
Mengingat situasi tidak menguntungkan tersebut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), muncullah usulan yang diberikan oleh Johannes van Den Bosch kepada raja Belanda pada tahun 1829 tentang penerapan Cultuurstelsel dan usulan tersebut mendapat izin khusus dari raja Belanda dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan, sehingga dimulailah sistim penanaman (cultuurstelsel). Ini lah salah satu sebab adanya sistem tanam paksa.
Pada bulan Januari 1830, Johannes van den Bosch tiba di pulau Jawa dengan jabatan sebagai Gubernur jenderal baru. Sistem Cultuurstelsel diperkenalkan secara perlahan hingga tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Gambar: Tanam Paksa |
Cara eksploitasi model Cultuur Stelsel dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah Belanda untuk menutup kas Negara dalam pembiayaan peperangan yang terjadi di Eropa. Keterlibatan negara secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di daerah koloni karena adanya kebutuhan yang mendesak.
Sistem Cultuurstelsel berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch menerapkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa ( Kopi, Tebu dan Nila ).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Dalam sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistim monopoli VOC. Karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada tahun 1835 hingga tahun 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Johannes van den Bosch selaku penggagas, dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda pada tanggal 25 Desember 1839.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membumbung, dibudidayakan. Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa.
Keberhasilan Cultuurstelsel salah satunya diakibatkan oleh bertambahnya jumlah penduduk di pulau Jawa.
- Di tahun 1795, jumlah penduduk Jawa mencapai 3 juta jiwa
- Di tahun 1830, jumlah penduduk Jawa mencapai 7 juta
- Di tahun 1870, jumlah penduduk Jawa mencapai 16,2 juta
Tersedianya tenaga kerja yang selalu bertambah inilah yang memicu keberhasilan Cultuurstelsel. Karena antara tahun 1831-1871 Jawa dan Sunda tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari hasil Cultuurstelsel.
Jelas pendapatan tersebut membuat perekonomian dalam negara Belanda menjadi tetap stabil. Hutang-hutang dilunasi, pajak-pajak di negara belanda diturunkan dan jalan kereta api di negara Belanda dibangun dan Amsterdam menjadi pasar dunia yang penting bagi hasil bumi daerah tropis, khususnya kopi dan gula. Semua merupakan hasil dari Cultuurstelsel yang diterapkan di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Pada tahun 1860-an, 72 persen penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, pulau Jawa menjadi sumber modal.
Penderitaan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya untuk merdeka memang luar biasa, selain harus mengorbankan nyawa, secara ekonomi-pun rakyat Indonesia harus menanggungnya.
Penindasan kaum penjajah Belanda seolah tidak pernah berakhir, berbagai cara diterapkan kaum penjajah untuk mengisi kas pemerintahannya yang telah kosong akibat sering terjadinya perang melawan kaum pribumi, diantaranya adalah sistem Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang diterapkan kepada seluruh kaum pribumi yang memiliki tanah perkebunan.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda.
Wilayah yang digunakan untuk praktek Culturstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Dampak dari Cultuurstelsel bagi kalangan elite bangsawan adalah suatu masa yang benar-benar menguntungkan, sebab kedudukan mereka menjadi lebih aman dan pergantian secara turun temurun untuk jabatan-jabatan resmi menjadi norma, terutama setelah dikeluarkan ketentuan konstitusi atau yang disebut dengan Regeringsreglement pada tahun 1854. Akibatnya kaum elite bangsawan terpisah dari masyarakatnya sendiri. Terbebas dari tekanan sangsi pribumi terhadap penyelewengan kekuasaan.
Pada tahun 1840, Cultuurstelsel dihadapkan pada munculnya berbagai masalah. Salah satunya mengenai penderitaan dikalangan penduduk Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu.
Karena di daerah-daerah tersebut, batang tebu ditanam di tanah garapan padi, sehingga mempersulit penggiliran yang konstan untuk penanaman kedua jenis komoditi. Pabrik gulapun bersaing dengan penanaman padi untuk jatah air. Timbul kemudian paceklik yang mengakibatkan harga beras menjadi tinggi.
Pada tahun 1843 muncul kelaparan hebat di Cirebon yang menimbulkan berjangkitnya wabah-wabah penyakit pada tahun 1846-1849.
Dan pada tahun 1850, kelaparanpun melanda seluruh pulau Jawa, sementara Belanda tetap menaikkan pajak yang membuat perpindahan penduduk besar-besaran keluar pulau Jawa. Otomatis di tahun 1845-1850 ekspor kopi, gula dan nila pun merosot turun secara tajam.
Akibat berbagai kelaparan yang menimpa hampir seluruh penduduk di Jawa, telah menimbulkan berbagai kritikan pedas dari orang-orang non-pemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputera Jawa.
Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Di bidang sastra muncul Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda van Eisinga dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell.
Gelombang protes dari kaum humanis tadi seperti Eduard Douwes Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860, dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899.
Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dari sinilah muncul gagasan politik ethis.
Pada tahun 1870, kaum liberal di Belanda berhasil memaksa pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan hanya menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan ekonomi dimana mereka berpendapat bahwa pemerintah jangan ikut campur dalam bidang ekonomi, mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
Akhir dari perdebatan politik di negara Belanda menghasilkan dihapuskannya Cultuurstelsel sedikit demi sedikit. Penghapusan tersebut dimulai dari yang paling sedikit memberi keuntungan seperti : cengkeh pada tahun 1864, Nila, teh dan kayumanis pada tahun 1865, tembakau pada tahun 1866, kopi dan gula pada tahun 1870 Kopi dan gula terakhir dihapuskan karena keduanya yang paling menguntungkan.
Disamping dihapuskannya Cultuurstelsel, pada tahun 1870 diadakan undang-undang Gula yang ditetapkan oleh pemerintah dengan isinya bahwa pemerintah akan menarik diri dari penanaman tebu selama 12 tahun dan dimulai dari tahun 1878.
Demikianlah sejarah tentang Cultuurstelsel yang pernah diberlakukan di negara tercinta kita, Indonesia. Keberadaannya memang nyata pernah ada di pulau Jawa.
Dan kita patut mempelajari sejarah tersebut agar di masa yang akan datang, terhitung dari sekarang, tidak akan pernah ada lagi Cultuurstelsel-Cultuurstelsel lain kembali menjamuri wilayah Indonesia.
Bersatulah dan jagalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memahami sejarah dan memperjuangkan nilai-nilai sejarah yang ada dengan menyikapi perjuangan yang telah dipertaruhkan sebelumnya. Merdeka!!!
Latar Belakang Tanam Paksa
Yang menjadi latar belakang atau motif uatama pelaksanaan cuturstelsel adalah dikarenakan pada tahun 1830 pemerintahan Belanda hampir bangkrut yang diakibatkan dari perang jawa (Perang Diponegoro 1825-1830) di Indonesia dan perang Belgia (1830-1831) di negeri Belanda sehingga Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong, Gubernur Jendral Van den Bosch membuat peraturan yang mewajibkan rakyat untuk menyerahkan landrento.Selain itu, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor diataranya kopi, tebu, nila khususnya di daerah-daerah pegunungan yang masih kosong.
Dalam sistem tanam paksa asas yang diterapkan di daerah Parahyangan direncanakan untuk diterapkan diseluruh pulau Jawa.
Nara Sumber : Dedy Wahyudin; Buku “Sejarah Indonesia Modern” oleh M. C. Ricklefs (penerjemah : Drs. Dharmono Hardjowidjono, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada) Penulis : Tangguh Sutjaksono; Dedy Wahyudin; Nunik Sumasni
EmoticonEmoticon